“Republik” Lan Fang di Kalimantan Barat
Di Kalimantan Barat pada akhir abad ke 18, Clan Hakka (Kek) yang berasal dari daerah Kwantung (Kanton), Cina, membentuk komunitas dengan pemerintahan sendiri yang berbentuk seperti layaknya suatu Republik di Kalimantan Barat, tepatnya di Mandor. “Republik” ini bertahan selama 107 tahun dan mempunyai 10 Presiden. Presiden pertamanya adalah Lo Fong Pak (Low Lan Pak), ia lahir tahun 1738 di Kwangtung, Mei Hsien, distrik Shih Pik Pao pada tahun ketiga dinasti Ching. Ia mengawini seorang gadis dan mempunyai seorang putera. Menurut kebiasaan Hakka mereka tidak mengambil isteri selama perjalanannya keluar negeri.
Di usia 34 tahun, ia menuju Kalimantan Barat untuk ikut memburu emas (gold rush). Penguasa pada waktu itu, Sultan Panembahan, mendengar bahwa orang-orang dari Cina adalah pekerja-pekerja yang keras, maka ia mendatangkan 20 orang Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar di Sambas juga mendengar tentang kerajinan orang Tionghoa dan menggunakan sistem penyewaan tanah untuk mendorong minat orang-orang Tionghoa berusaha di wilayahnya.
Awal tahun 1740 jumlah orang-orang Tionghoa di Kalimantan Barat hanya puluhan orang, dan tahun 1770 jumlah mereka telah mencapai sekitar 20.000 orang. Mereka yang merasa sedaerah atau sedarah kemudian mendirikan kongsi (perusahaan) untuk melindungi kepentingan dan diri mereka sendiri. Pada tahun 1776, empat belas kongsi bergabung bersama-sama membentuk Hesoon 14 kongsi untuk mendobrak kebuntuan yang diakibatkan oleh pengelompokkan yang berdasarkan daerah atau darah tersebut. Low Lan Pak kemudian mendirikan kongsinya sendiri. yaitu Lan Fang Kongsi dan berhasil menyatukan semua orang sukubangsa Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mereka kemudian mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari kelompok usaha mereka.
Kemudian Low Lan Pak membangun administrasi sebagaimana layaknya suatu pemerintahan dengan menggunakan nama perusahaannya. Pada tahun 1777 Low Lan Pak menyatakan berdirinya Republik Lan Fang. Pada waktu itu para pendukungnya ingin mengangkat Low Lan Pak menjadi sultan, namun ia menolak dan memilih jabatan yang sekarang setara dengan jabatan presiden di suatu republik. Ibukotanya berada di Leh Wan Li. Jabatan Ta Tang Chon (presiden) dipilih melalui pemilihan. Presiden dan Wakil Presiden harus dipegang orang Hakka dari Ka Yin atau Ta Pu. Benderanya adalah bendera kuning empat persegi panjang dengan kata-kata Lan Fang Ta Tong Chi. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan kata Chuao (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian Cina, sedangkan yang jabatannya lebih rendah mengenakan pakaian ala barat. Berdasarkan catatan perusahaan Lan Fang, setiap tahunnya mereka membayar upeti kepada Dinasti Ching di Cina.
Low Lan Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan system perpajakan, dan Republik Lan Fang juga mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari, lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan, karena Low Lan Pak sendiri asalnya memang seorang guru.
Pada waktu itu Pontianak yang terletak di muara Sungai Kapuas adalah sebuah daerah perdagangan yang penting dan diperintah oleh Sultan Abdulrachman. Sedangkan bagian hulu dari Sungai Kapuas dikuasai oleh orang Dayak. Kesultanan yang berbatasan dengan Kun Tien adalah Mempawah. Sultan Pontianakmencoba membangun istana agak ke hulu sungai yang dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah dan hal ini memicu perang antara kedua kesultanan.
Pada perang ini (1794) Sultan Kun Tien dibantu oleh Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka. Sultan Mempawah kalah dalam pertempuran tersebut, dan kemudian bergabung dengan Dayak untuk melakukan serangan balasan. Namun Low Lan Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan Mempawah, dan bahkan kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai Singkawang. Pertempuran ini berakhir dengan perjanjian perdamaian antara Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah dengan Low Lan Pak.
Setelah kemenangan ini popularitas Low Lan Pak melesat dramatis, ketika itu ia berusia 57 tahun. Rakyat, dan orang Tionghoa di daerah itu mencari perlindungan pada Lo Fang Pak, dan bahkan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak sanggup melawan kekuatan militer Low Lan Pak, sehingga Sultan sendiri bernaung di bawah perlindungan Low Lan Pak. Presiden Low Lan Pak wafat pada tahun 1795, setelah tinggal di Kalimantan selama lebih dari 20 tahun.
Semasa presiden ke lima Liew Tai Er, Belanda memulai ekspansinya ke Kalimantan dan kemudian menduduki daerah Kalimantan Tenggara. Lan Fang kehilangan otonominya dan menjadi sebuah negara yang dilindungi Belanda. Kemudian Belanda membuka sebuah kantor kolonial di Kun Tien dan menjadi perantara untuk urusan-urusan republik. Pada tahun 1884 Singkawang menolak diperintah oleh Belanda dan akibatnya mereka diserang oleh tentara Belanda. Setelah bertempur selama 4 tahun pasukan yang dibiayai oleh Kongsi Lan Fang akhirnya kalah, dan orang-orang Tionghoa kemudian lari ke Sumatera. Belanda kemudian menguasai Kongsi Lan Fang.
Karena takut terhadap reaksi keras dari pemerintah Ching di Cina, Belanda tidak mau menyatakan bahwa mereka telah menduduki Lan Fang dan bahkan masih mengizinkan salah satu ahli warisnya menjadi tokoh setempat. Hal itu berlangsung sampai tahun 1912 sampai terbentuk Republik Cina di bawah Dr. Sun Yatsen. Baru setelah itu Belanda berani secara resmi menyatakan kekuasaan pemerintahannya di Kalimantan.
Mereka yang lari ke Sumatera berkumpul kembali di Medan, dan kemudian dari sana beberapa orang menyeberang ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah satu keturunan pelarian dari Kalimantan tersebut adalah Lee Kuan Yew, yang kemudian menjadi Perdana Menteri di Singapura. Orang Hakka yang mendirikan perusahaan Lan Fang kedua di Singapura adalah kelompok minoritas, namun mereka memainkan peran penting di Singapura.
Selain Lee Kuan Yew, orang-orang Hakka yang terkenal antara lain adalah Dr Sun Yatsen, pendiri Republik Cina, Mao Zedong, Deng Xiaoping, Ne Win (Diktator di Myanmar, dahulu Birma), Li Peng (mantan Perdana Menteri Cina) dan Lee Tenghui (mantan Presiden Taiwan). Ada suatu keunikan, ketika tiga orang keturunan Hakka menjadi pemimpin di tiga negara pada waktu yang bersamaan, yaitu Deng Xiaoping berkuasa di RRC, Lee Tenghui menjadi Presiden Taiwan dan Lee Kuan Yew menjadi Perdana Menteri di Singapura.